Marxisme: Eksistensi dan Hakikat
Manusia
Biografi Karl Marx (1818-1883)
Marxisme: Eksistensi dan Hakikat Manusia Biografi Karl Marx (1818-1883) Karl Marx dilahirkan di
Treves, kota kecil di wilayah Rhineland, Jerman. Ia adalah keturunan rahib
Yahudi dari pihak ayah dan ibunya, namum
kemudian ayahnya yang merupakan pengacara terkenal pindah ke agama
Protestan.[1] Marx menerima pendidikan di Universitas Bonn, Berlin, dan Jena,
secara serius Marx mengkaji mengenai sejarah, ilmu hukum, dan filsafat. Tahun
1836 Marx belajar ilmu hukum di Bonn, lepas satu semester pindah ke Berlin
untuk belajar filsafat disinilah Marx mendalami filsafat Hegel dan kemudian
digunakannya untuk melakukan kritik terhadap sistem politik di wilayah Jerman.
Tahun 1814 di kota Jena Marx memperoleh gelar Doctor dalam bidang filsafat.[2]
Marx berusaha untuk menjadi staf pengajar di universitas, namun upaya Marx
gagal hal inilah yang mengantarkan Marx beralih pada jurnalisme, posisinya
sebagai staf Rheinische Zeitung, surat kabar demokratis –liberal yang terbit di
Cologne. Tahun 1843 Marx menikah dengan Jenni Von Westphalen, mereka dikaruniai
enam orang anak dan tiga diantaranya meninggal pada usia dini. Marx setelah
menikah pergi ke Paris sehingga ia dapat berhubungan dengan banyak pemikir
sosialis Prancis. Selama tinggal di Paris, Marx bertemu dengan Friederich
Engels, yang merupakan putra pengusaha tekstil Jerman yang kaya, pada masa
selanjutnya Engels ini merupakan teman akrab Marx dan ia banyak membantu Marx
dalam hidupnya, pada saat itu Engels mengelola pabrik di kota Manchester,
melalui Engels inilah Marx menjadi tahu mengenai kondisi buruh dan ekonomi
Inggris.[3] Tidak lama Marx tinggal di Prancis Marx di usir karena ia menulis
di salah satu surat kabar Paris menyerukan revolusi Jerman, akhirnya Marx pergi
ke Brussel dan membentuk liga komunis yang merupakan organisasi yang berusaha
menyatukan orang-orang yang membentuk mazhab baru sosialisme. Tahun 1848
terjadi revolusi di Jerman, Marx kembali ke tanah airnya Rhineland untuk ikut
serta dalam gerakan tersebut, namun pada akhirnya gerakan revolusi Jerman gagal dan
Marx terbang ke London untuk menghabiskan masa hidupnya. Pada tahun 1864 Asosiasi Pekerja Internasional
di dirikan di London , dengan tujuan adalah menjadi lembaga yang mewakili
proletariat dari semua negara, dengan cepat Marx menjadi kekuatan dominan dalam organisasi baru tersebut.[4] Marx
sangat anti agama, sehingga filsafatnya didasarkan atas metafisika
materialistik. Marx berpendapat agama adalah hasil proyeksi keinginan manusia,
Marx berfikir keinginan yang timbul ditengah-tengah manusia tertentu didapatkan
didalam hubungan kemasyarakatan. Perasaan-perasaan dan gagasan-gagasan
keagamaan adalah hasil suatu bentuk masyarakat tertentu. Jika membicarakan
manuisa tidak boleh membicarakannya sebagai tokoh yang abstrak, yang berada di
luar dunia ini. Manusia berarti manusia, yaitu negara, masyarakat. Negara,
Masyarakat inilah yang kemudian menghasilkan agama.[5] Dalam hidupnya Marx
mengetengahkan prinsip bagaimana hidup, dan membangun masyarakat dan negara,
sehingga Ia harus mengalami pembuangan
diluar negeri dengan demikian Ia menjalani hidup yang terlunta-lunta diberbagai
negara Eropa yaitu Jerman, Belgia, Prancis, dan Inggris, hingga akhirnya Marx
meninggal di Inggris pada tahun 1883.
Filsafat Karl Mark
Telah dijelaskan diatas mengenai perjalanan hidup Kalr Marx, selanjutnya dibagian ini akan
dijelaskan mengenai filsafat[6] Kalr Mark dan karya-karyanya. Filsafatnya
sangat dipengaruhi oleh filsafat dialektika Hegel[7], tetapi dia menolak konsep
idealisme Hegel beserta konsep kebenaran absolut. Marx kemudian menggantinya
dengan dialektika materialisme[8] yang bersifat ateistis. Perbedaan antara
dialektika Hegel dengan dialektika materialisme milik Marx terletak pada alur
proses. Dialektika Hegel menyatakan bahwa sejarah proses terbentuknya idea atau
konsep, atau pemahaman manusia kemudian dapat mendorong perubahan sosial
politik. Sebaliknya, dialektika materialisme Marx justru menganggap bahwa
proses transformasi ekonomilah yang mendorong cara pikir manusia untuk menimbulkan
idea atau konsep baru. Dia memandang bahwa pikiran manusia sebagai institusi
yang aktif dapat beradaptasi dalam menanggapi kondisi lingkungan. Marx kemudian
menggunakan konsep dialektika materialisme dan menjelaskan tiga sisi konflik
antar kelas ekonomi . Sisi pertama (para tuan tanah) melawan sisi kedua (kelas
menengah) menghasilkan sisi ketiga (kelas ekonomi baru), yaitu buruh industri
para kapitalis. Visi Marx selanjutnya adalah tesis yang berupa kapitalisme
melawan antitesis berupa kaum pekerja atau proletar yang akan menghasilkan
sintesis sosialisme.[9] Menurut Marx, sejarah manusia bisa dilihat sebagai
rangkaian perjuangan kelas. Konflik kelas paling signifikan pada abad
pertengahan adalah konflik antara kelas pedagang dan kelas aristrokrasi feodal
kuno. Pemecahan masalah ini adalah melalui sistem sosial yang baru, yaitu
kapitalisme. Namun, kapitalimse ternyata juga dikendalikan oleh kelas tertentu.
Marx meyakini bahwa mesin sejarah modern di bawah kapitalisme adalah perjuangan
politik antar para borjuis dan para proletar.[10] Pemahaman mengenai filsafat
Karl Mark bisa dilihat pada karya-karya tulisannya seperti The Economics and Philosophical Manuscripts, ditulis Marx
tahun 1844, ketika Marx berusia 26 tahun. Dalam manuskrip, Marx mengatakan
bahwa kapitalisme manusia di alienasikan dari pekerjaan, barang yang
dihasilkan, majikan, rekan sekerja dan diri mereka.[11] Maksudnya yaitu melalui
kerja manusia mewujudkan bakat-bakat dirinya, mengenal dirinya. Lewat kerjanya
juga manusia menyatakan kebebasannya sebagai tuan atas alam dengan mengubah
alam sesuai keinginannya. Selain itu Marx juga berpendapat bahwa kerja juga
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, sebab hasil kerjanya adalah
hasil objektifitas dirinya yang bisa diakui atau dimanfaatkan oleh orang lain.
Semua ciri kerja ini sudah lenyap dalam masyarakat industri. Dalam “kerja
upahan” (Lohnarbeit), pekerja manjual tenaganya. Hasil kerjanya lalu menjadi
milik perusahaan sehingga dia teraliensi dari produknya sendiri. Selain itu,
dalam kerja upahan, pekerja juga teraliensi dari aktivitas kerjanya sendiri,
sebab jenis kerjanya ditentukan majikan. Lalu, karena dia mau tetap hidup, dia
terpaksa memperalat dirinya untuk mendapat nafkah; artinya dia pun teraliensi
dari dirinya sendiri dengan lenyapnya kebebasan. Akibatnya, terjadi persaingan
di antara para pekerja dan permusuhan antara pekerja dan majikan, sehingga
kerja upahan juga mengasingkan manusia dari sesamanya. Marx lalu menganggap
alienasi akan diakhiri melalui penghapusan institusi hak milik itu, sehingga
masyarakat tidak terbagi menjadi kelas-kelas yang saling bertentangan. Ini
tidak dilakukan lewat refleksi seperti yang dikatakan Hegel, tetapi lewat
praktis yaitu revolusi.[12] Karya selanjutnya The Manifesto of the Communist
Party, atau Manifesto Partai Komunis dicetak pada bulan Februari, 1845
merupakan karya Karl Marx dan Engels. Dalam buku ini dikemukakan mengenai
hakikat perjuangan kelas, yang dijelaskan: “sejarah dari semua masyarakat yang
ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan
perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan
yang ditentukan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya,
dan berlangsung tanpa terputus”[13] Kemudian menurut Marx Komunisme adalah
sebuah kekuatan dan tiba saatnya kekuatan itu bersuara, hal ini yang menjadi
bagian dari cita-cita Marx ketika menulis Manifesto. Cita-cita yang lain adalah
mengubah dunia dengan membawa dunia pada fase historis yang terakhir, yaitu
komunisme dan tujuan politiknya untuk lebih memfokuskan sebuah revolusi.[14] Ia
menuliskan, “masa transformasi revolusioner akan mengubah masyarakat kapitalis
menjadi masyarakat komunis. Revolusi ini juga menyangkut masa peralihan
kekuasaan dari negara kepada diktator proletar…”[15] Manifesto juga berisi
sebuah filsafat sejarah, yang kemudian dikenal sebagai materialisme historis.
Teori sejarah Marx tidak mencoba untuk menjelaskan sedikit mengenai sejarah
manusia, tetapi menerangkan evolusi sebagai bagian dari teori sejarah, yang
bernama sejarah sosial dan ekonomi. Marx berpendapat bahwa setiap produksi yang
dihasilkan tidak berdasar pada kesanggupan, tetapi berdasarkan adanya kelas
penguasa dan kelas pekerja. Kelas pekerja memproduksi bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup, dan kelas penguasa berdiri di atas mereka,
mengambil untuk dirinya sendiri kelebihan dari pekerja-pekerja mereka. Para
pekerja, kemudian dieksploitasi oleh kelas penguasa untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan pada akhirnya juga kelebihan-kelebihan mereka. Ada beberapa model
produksi menurut Karl Marx yaitu “model produksi kuno” dimana kelas penguasa
memiliki budak pekerja sesuai dengan pembagiannya. Budak memproduksi apa yang
mereka sendiri sungguh butuhkan, kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat
tinggal.[16]Selanjutnya adalah model produksi yang feodal. Di sini, para budak
yang mengolah tanah lebih daripada budak yang memproduksi kebutuhan material di
masyarakat. Buruh tanah menikmati sebagian kecil dari kebebasan yang lebih
besar daripada apa yang dialami dalam perbudakan para penduhulnya. Para budak
tanah memiliki beberapa hak kepemilikan tanah dan juga tingkat kekuatan untuk
mengambil keputusan kapan dan bagaiman mereka menyebarkan pekerja mereka. Marx
tetap mencatat bahwa tanah di mana para buruh tanah itu bekerja bukan milik
mereka sungguh-sungguh; tanah dimiliki oleh tuan tanah dan akhirnya
monarki.[17] Marx berargumen bahwa model feodal ini secara bertahap memberikan
jalan untuk model kapitalis. Di sini, pekerja upahan, atau kaum proletar,
menjadi pekerja utama dalam masyarakat. Kelas kapital, tidak seperti penguasa
budak atau tuan feodal, berdiri di atas kelas pekerja, sebagai kelas yang
menentukan aturan. Kelas kapital mengeksploitasi kaum proletariat dan mengambil
keuntungan dari pekerja mereka, sekarang lewat sarana-sarana untuk mendapatkan
keuntungan. Keuntungan memberikan kepada kapitalis uang untuk konsumsi mereka
sendiri.[18] Karya lain Karl Marx yaitu Das Kapitalyang berisi ajaran mengenai
“nilai lebih” dan “kehancuran otomatis sistem kapitalisme”. Kedua pokok ini
tidak lagi merupakan analisis filosofis, melainkan sebuah analisis ekonomis
ketat. Nilai lebih diperoleh karena pekerja bekerja melampau waktu yang wajar.
Kelebihan waktu itu adalah kerja tanpa upah. Jadi, keuntungan diraih dari waktu
kerja yang lebih itu. Di sini, Marx menemukan sifat eksploitatif dari
kapitalisme, karena, menurutnya, proses akumulasi modal adalah proses
perampasan dari kaum buruh sendiri, yaitu tansaga labihnya tak dibayar dan
menjadi keuntungan kapitalis.[19] Keuntungan kapitalis selanjutnya
diinvestasikan untuk alat produksi, seperti teknologi, peralatan, dan
lain-lain. Jadi kelas kapitalis ini secara cepat memperbaharui alat produksi.
Kapitalis akan semakin agresif menginvetasikan uangnya pada teknologi dan
semakin sedikit menginvestasikan uangnya pada faktor pekerja atau buruh. Karena
pada dasarnya keuntungan produksi diperoleh dari faktor pekerja. Ajaran kedua,
tentang kehancuran kapitalisme,adalah sebuah analisis yang sangat
deterministis. Menurut analisis Marx, proses eksploitasi kaum buruh melalui
nilai lebih akan menghasilkan krisis-krisis yang niscaya. Krisis disebabkan
oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar menelan perusahaan-perusahaan
kecil, sampai akhirnya jumlah kaum kapitalis semakin mengecil dan pemiskinan
massa semakin meningkat. Cepat atau lambat, namun niscaya, pertumbuhan
kapitalisme itu secara otomatis akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari
pihak massa yang dipermiskin dan dieksplotasi, dan sistem kapitalis akan menemui
jalan buntunya untuk mengatasi krisis itu. Pengangguran bertambah, inflasi
membumbung, produksi tak terjual, dst., dan sistem kapitalis akan menghancurkan
dirinya sendiri. Itulah saat munculnya masyarakat tanpa kelas. Dengan demikian,
munculnya sosialisme dibayangkan oleh Marx.
Konsep Sosialisme Marx
Konsep sosialisme Marx berasal dari konsepnya tentang
manusia. Menurut konsep tentang manusia ini, sosialisme bukan sebuah masyarakat
yang tersusun atas individu-individu yang diatur dan otomatis yang mengabaikan
apakah mereka memiliki pendapatan yang cukup atau tidak, dan yang mengabaikan
apakah pangan dan sandang mereka tercukupi dengan baik atau tidak. Sosialisme
bukanlah sebuah masyarakat di mana individu tersubordinasikan oleh negara,
mesin dan birokrasi. Tujuan sosialisme adalah manusia. Sosialisme harus
menciptakan sebuah bentuk produksi dan organisasi masyarakat di mana manusia
dapat mengatasi alienasi dari produknya, dari kerjanya, dari sesamanya, dari
dirinya sendiri dan dari alam; di mana dia dapat kembali menjadi dirinya
sendiri dan menguasai dunia. Dalam konsep sosialisme Marx, individu
berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaannya, pendeknya,
merupakan pewujudan demokrasi politik dan industrial. Sosialisme, bagi Marx, adalah
sebuah masyarakat yang memberi ruang bagi aktualsasi esensi manusia, dengan
cara mengatasi alienasinya. Sosialisme tidak kurang dari menciptakan
kondisi-kondisi untuk mencapai manusia yang benar-benar bebas, rasional, katif
dan independen. Bagi Marx, tujuan sosialisme adalah kebebasan, tetapi kebebasan
yang maknanya jauh lebih radikal daripada yang dipahami oleh demokrasi yang
hidup pada saat itu, yakni dalam pengertian independen yang didasarkan pada
kedirian manusia yang berpijak pada kakinya sendiri, yang menggunakan
kekuasaannnsya sendiri dan menghubungkan dirinya dengan dunia secara produktif.
Politik Marx
Masyarakat dan Negara. Negara menurut Marx sebagai alat
belaka dari kelas penguasa (berpunya) untuk menindas kelas yang dikuasai (yang
tidak berpunya). Negara dan pemerintahan identik dengan kelas penguasa, artinya
dengan kelas berpunya dalam sejarah berturut dikenal kelas pemilik budak, kelas
bangsawan (tuan tanah), kelas borjuis. Ini berkaitan dengan dialektika bahwa
perkembangan masyarakat feodalisme kemasyarakatan borjuis atau kapitalisme dan
se-lanjutnya menuju masyarakat sosialisme yang perubahan itu merupakan
kelanjutan yang tidak dapat dielakkan. Untuk menuju masyarakat komunis, tidak
dengan berdiam diri, melainkan harus berjuang bukan menanti dialektika sejarah
itu.
Agama
adalah Candu
Bagi Marx religion is the opium of people, adalah
ungkapannya yang terkenal bagaimanaumumnya orang memiliki penilaian terhadap
sikap kalangan komunis terhadap keberadaan agama ditengah masyarakat dan Negara.
Marx memandang agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri,
melainkan menjadi sesuatu yang berada diluar dirinya yang menyebabkan manusia
dengan agama menjadi makhluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah
sumber keterasingan manusia. Agama harus dilenyapkan karena agama sebagai alat
kaum borjuis kapitalis untuk mengeksploitasi kelas pekerja. Agama dijadikan
sebagai alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya, selain dijadikan alat
agar rakyat tidak melakukan perlawanan, pemberontakan, dibiarkan terlena dan
patuh atas penguasa, dan semua ini sebagai fungsi eksploitasi agama. Agama
adalah produk dari perbedaan kelas, selama perbedaan kelas ada maka agama tetap
ada. Marx percaya bahwa agama adalah perangkap yang diapasang kelas penguasa
untuk mejerat kelas pekerja, bila perbedaan kelas itu hilang, agama dengan
sendirinya akan lenyap.[24] Marx secara
terang-terangan bermusuhan dengan lembaga-lembaga keagamaan. Marx beranggapan
bahwa sifat khayalan dari agama di ukur dengan latar belakang historis dari
keterasingan. Manusia primitif terasing dari alam dan pengasingannya
diungkapkan dengan bentuk ‘agama alamiah’. Dengan meluasnya pembagian kerja
yang menghasilkan peningkatan penguasaan alam, kepercayaan keagamaan diuraikan
menjadi sistem gagasan yang ‘dirasionalisasikan’ lebih jelas (dalam makna
weber) yang mengungkapkan keterasingan-diri dari manusia. Kapitalisme
menunjukkan kemampuan manusia menguasai alam; alam semakin dimanusiawikan oleh
adanya upaya manusia dalam bidang teknik dan sains – akan tetapi hal ini
dicapai dengan sangat meningkatnya keterasingan-diri, yang menjadi pokok
kemajuan pembagian kerja yang dirangsang oleh produksi kapitalis. Sifat
khayalan dari agama, disini didapatkan dalam fakta bahwa agama itu berfungsi sebagai
pengabsahan dari orde sosial yang ada (yang terasingkan) dengan cara peralihan
kemampuan-kemampuan manusia yang potensial, akan tetapi tidak direalisasikan
kedalam kapitalisme, kesatuan alam
semseta mistik. [25] Menurut Marx, agama itu senantiasa merupakan bentuk dari
keterasingan, oleh sebab itu kepercayaan keagamaan melibatkan perkaitan dengan
hal-hal yang sungguh-sungguh mistis serta serta mempunyai kemampuan-kemampuan
yang dalam kenyataannya dimiliki oleh manusia. Aspek transedensi agama adalah mungkin,
oleh karena kepastian dikotomi dan oposisi antara pribadi dan masyarakat juga
mungkin. Marx juga berpandangan bahwa suatu bentuk masyarakat bisa
bereksistensi, di dalam mana tidak terdapat dikotomi antar pribadi orang dengan
masyarakat – dalam kasus solidaritas mekanis.
Perkembangan Marxisme
Marxisme merupakan sebuah paham yang mulai berkembang pada
pertengahan abad ke-19. Paham ini adalah kelanjutan dari perkembangan paham
sosialisme yang telah berkembang sebelumnya. Seorang pemikir sosialis yang
berpengaruh saat itu adalah Karl Marx, ia mengembangkan sebuah gagasan baru
sosialisme yang kemudian tumbuh menjadi doktrin sosialisme paling berpengaruh.
Doktrin sosialisme Karl Marx kemudian dipopulerkan dengan istilah
“Marxisme”.[27] Istilah marxisme sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran
resmi Karl Marx dan terutama dilakukan oleh temannya Friedrich Engels.[28]
Dalam menjelaskan doktrin Marxisme tersebut, Engels mengajukan thesis bahwa
alam menghasilkan sejarah panjang pengalaman dan masyarakat ditentukan oleh
hubungan-hubungan ekonomi, produksi, dan pertukaran. Untuk mensistematisasikan
gagasan Engels mengenai Marxisme setidaknya dapat ditilik ke dalam tiga pokok
pikiran, yaitu pokok pikiran dalam filsafat, sejarah, dan politik.[29]
Bersamaan dengan upaya Engels untuk membakukan ajaran Marx, lahir pula kelompok
sosialis moderat yang menentang ide-ide Marxisme, yaitu Fabian Society di
Inggris (1883-1884). Kelompok ini lebih tertarik dengan cara perjuangan lewat
parlemen dan menarik kelompok kelas menengah dalam mencapai tujuan sosialisme.
Menurut kaum Fabian, sosialisme perlu diperkaya oleh ilmu-ilmu sosial baru,
khususnya ekonomi dan sosiologi dengan mengembangkannya dalam diskursus ilmiah,
riset, dan seminar. Beberapa tahun setelah kematian Marx pada 1883, lahirlah
International II sebagai langkah lanjut dari International I.[30] International
II menuntut solidaritas seluruh pekerja secara internasional. Upaya ini gagal
karena seiring dengan merebaknya ideologi Nasionalisme pada Perang Dunia I (1914)
dan pertikaian-pertikaian emosional oleh kalangan sosialis sendiri. Hal
tersebut ditandai dengan perdebata di kalangan Marxis seperti Karl Kautsky,
Bernstein, Rosa Luxemburg, dan Vladimir Lenin. Perdebatan tersebut berkisar
mengenai strategi bagaimana cara mewujudkan cita-cita Karl Marx untuk
menciptakan sebuah masyarakat sosialis komunis. Karl Kautsky sebagai Marxis
radikal lebih mendukung perjuangan kelas dengan cara revolusi, namun ia
menyadari bahwa peluang tersebut semakin kecil. Kautsky kemudian lebih tertarik
kepada analisisnya Engels dan cenderung menggabungakan teori sejarah Marx
dengan teori evolusinya Darwin. Dengan demikian berarti sintesis antara
determinisme ekonomi dan aktivitas politik revolusioner sebagai ciri khas
sejarah Marv berubah menjadi perkembangan kontinu. Interpretasi ini kemudian
berpengaruh pada pemikiran baru untuk mengkritisi gagasan orisinil Karl Marx,
bahwa dalam perkembangannya ternyata ide-ide Karl Marx sudah tidak relevan
dengan kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat. Seiring dengan dinamika
baru, sistem Kapitalisme dinilai oleh sebagian kalangan Marxis mampu membenahi
diri dan menyesuaikan dengan keadaan-keadaan baru. Dengan pertimbangan demikian
maka mulailah muncul inisiatif untuk mengadakan penyesuaian bagi Marxisme
terhadap kondisi baru agar sesuai dengan kenyataan yang berkembang. Salah satu
tokoh Marxis yang mengusulkan ide ini adalah Eduard Bernstein. Bernstein
kemudian menemukan titik lemah basis teori Marx yang meniscayakan cita-cita
manusia semata-mata merupakan ungkapan materi atau ekonomi. Bernstein
berpendapat bahwa ada satu hal lagi yang dinilai penting yaitu etika.
Keberadaan etika ini menurutnya mencirikan sebentuk sosialisme yang bukan
sekedar keniscayaan sejarah yang buta melalui perkembangan ekonomi, melainkan
hasil dari ciri-ciri moral manusia yang tinggi. Hal tersebut dinilai golongan
Marxis Ortodoks sudah keluar dari garis dasar cita-cita Karl Marx. Pertentangan
tersebut dapat tercairkan setelah muncul interpretasi baru tentang Marxisme
yang dibawakan oleh Lenin. Menurut Lenin cara-cara yang dilakukan oleh para
tokoh Marxis sebelumnya tidak efektif, kemudian ia memilih perjuanan
revolusioner melalui sebuah partai yang revolusioner juga. Hal ini berbeda
dengan ajaran Karl Marx yang mengandalkan revolusi oleh massa proletar secara
spontan. Menurut Lenin revolusi harus diciptakan melalui para ahli intelijen
dan kaum intelektual untuk memasukkan kesadaran revolusioner kepada kaum
proletar. Wacana baru yang dibawa oleh Lenin tersebut melahirkan aliran baru
yang disebut Marxisme-Leninisme. Berdirinya Uni Soviet oleh kaum buruh
Bolshevik menyebabkan terpecahnya gerakan buruh internasional. Setelah
kepemimpinan Lenin berakhir, Soviet dipimpin oleh Stalin. Stalin membekukan
pemikiran-pemikiran Marx dan Lenin menjadi ideologi resmi Soviet ke dalam
Stalinisme. Dalam kondisi tersebut dilakukan stalinisasi di berbagai bidang
kehidupan, bahkan sampai bidang akademik. Dalam situasi yang tidak
menguntungkan ini menyebabkan diskursus terbuka tentang Marxisme jelas tidak
mendapat tempat. Meskipun demikian, upaya penyegaran terhadap Marxisme masih
dapat dilakukan di wilayah pinggiran. Para Marxis masih berusaha menghidupkan
kembali dan mengkritisi karya-karya. Penggalian ide-ide Marx dalam wacana
kritis melahirkan aliran baru Marxisme yaitu neo Marxismeatau Marxisme Kritis.
Karena gerakan ini cukup progresif, Moscow mencium keberadaannya. Sebagai
akibatnya gerakan ini dilumpuhkan oleh kubu Marxisme ortodoks sehingga Marxisme
kritis mengalami stagnasi dan pemudaran. Dengan peristiwa tersebut aliran
kritis gelombang kedua justru muncul ke permukaan. Aliran baru ini berasal dari
Frankfurt sehingga populer dengan sebutan Mazhab Frankfurt. Pemikiran kritis
Mazhan Frankfurt biasa disebut sebagai teori kritis. Para penganut teori kritis
terus melanarkan kritik kepada Stalinisme Soviet dan Fasisme Nazi yang dinilai
sebagai rezim totaliter, mengabsahkan penindasan atas masyarakat dengan
selubung ideologi sosialisme. Gagasan mazhab ini antara tahun 60-an hingga 70-an
memperngaruhi gerakan-gerakan mahasiswa yang tekenal dengan nama The New Left
Movement, atau gerakan kiri baru. Dalam perkembangannya gerakan ini berselisih
paham mengenai strategi untuk mencapai tujuannya. Gerakan kiri baru ini juga
akhirnya terpecah menjadi gerakan yang tidak relevan dengan tujuan semula.